Jumat, 21 Maret 2008

"Silahkan keluarkan kertas ulangan!" perintah Bu Susi.
Ke.. kertas? Kukernyitkan dahiku sambil menoleh ke sekelilingku. Teman sekelas sibuk mengambil kertas dari tas. Menit berikutnya, kudengar deretan bunyi robekan. Aku membelalak kaget. Apa-apaan ini!?
Kupaksa otak kecilku untuk memberi penjelasan akan hal ini. Dasar otak yang memang sulit diajak kompromi, dia tak menerangkan apa pun. Aku mendesah panjang dengan beribu tanda tanya kutatap guruku. Masih tak kutemukan jawaban. Kulihat, Meta teman sebangkuku sedang menulis namanya di lembaran kertas itu. Ya Tuhan, jangan-jangan…
"Kita ulangan ya?" tanyaku meringis. Ayo, katakan “tidak” teman. Jangan sampai itu terjadi. Jantungku berdetak dahsyat. Keringatku mulai ke luar. Kutatap raut wajah itu dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Hasilnya, gadis jilbaber itu mengangguk dan dilengkapi dengan jawaban ya. Innalillah!
Segera kucari memo kecil di dalam tas. Beberapa saat kemudian, memo itu sudah berada di tanganku. Semuanya ada di sini. Jadi kalau ada ulangan pasti ada di sini. Jika tak kutemukan memo ini yang salah.
Kubuka halaman demi halaman, kutemukan tulisan UH KWN yang ditulis dengan huruf paling besar. Malah kutulis dengan tinta merah. Edan! Aku melupakan ulanganku. Salahku tidak membuka memo ini. Hah! Hari-hariku selalu saja dihabiskan dengan skenario, skenario dan skenario. Oh mama, anakmu mendadak dangdut, salah maksudku mendadak pikun.
"Ada apa Zahra?"
Mataku menuju Bu Susi yang melantunkan pertanyaan itu. Guru muda itu memperhatikanku. Ya, tentu saja dia memperhatikanku karena aku sedang menopang dagu seperti anak kambing kebingungan. Ah, aku pasti kelihatan bodoh. Segera kuturunkan kedua tanganku.
"Lagi patah hati tuh, Bu," cerocos Sigit, siswa yang berpredikat nomor satu dalam remedial. Teman-temanku tertawa. Sialan! Bu Susi senyum-senyum padaku, aku pun jadi malu. Aduh, aku benar-benar mendadak dangdut nih.
"Enak saja, makan tuh patah hati!" umpatku dengan suara berbisik. Meta mengembangkan senyum. Nih anak memang anti pacaran, jadi dia senang kalau mendengar temannya putus cinta. Dasar!
"Apa kamu sakit Zahra?" tanya Bu Susi yang masih memperhatikanku. Sakit!? Nah, ini ide bagus untuk mengelabui guru baru ini. Cukup dengan mengucapkan kata "ya" semuanya pasti beres. Tinggal ujian susulan. Yes!
Tunggu, Ujian susulan? Tidak! Tidak Zahra, itu yang paling menakutkan. Otakmu tidak secermelang itu. Kau makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain. Ini langkah yang berbahaya, Zahra.
Pusing kepalaku, lalu solusinya apa? Apa yang harus kulakukan untuk menghadapi musibah ini? Mataku tertuju kepada Riota yang duduk di samping kananku. Kebetulan atau mungkin sudah jodoh, dia melirikku. Waktunya pasang aksi, kukeluarkan senyum jitu berharap mantan pacarku itu menangkap sinyal dariku. Akan tetapi, apa yang terjadi saudara-saudara!? Dia mengalihkan pandangannya.
Aku geram, ini penghinaan terhadap kaum Kartini. Kubalas sakit hatiku dengan cibiran sepanjang-panjangnya. "Apa lidahmu sakit, Zahra?" kembali suara Bu Susi bergema dan mengagetkanku.
Kurasakan tiga puluh pasang mata sedang memperhatikanku. Sialan, kenapa si Ibu sok perhatian hari ini? Kukeluarkan senyum yang manis sekali. "Tidak Bu, saya cuma latihan pernapasan untuk mengurangi stres," jawabku diiringi senyum lima sentimeter. Teman-temanku tertawa. Huh! Enak ya kalian dapat hiburan menjelang ujian dan aku ketiban sial.
Riota kembali menatapku. Dapat kutangkap gurat-gurat kesedihan di wajahnya. Memoriku mengajakku untuk kembali ke masa setengah jam yang lalu.
"Kenapa harus dengan dia?" dia mulai menghardik. Aku tersenyum sewot. Sejak kapan Riota pandai menghardikku.
"Lalu dengan siapa?" tanyaku garang.
"Kau kan bisa jalan dengan temanmu," jawabnya tak kalah garang.
"Apa salahnya jalan dengan Erik? Dia kan juga temanku," belaku mulai emosi. Toh, aku benar-benar cuma membicarakan skenarioku dengannya. Erik berencana mementaskan skenarioku.
"Jelas salah, aku ini pacarmu!" teriaknya menekankan kata 'pacar.' Beberapa orang teman yang lalu lalang menatap kami. Terutama dua penggosip yang dari tadi mengintip kami dari balik kaca kelas sebelah.
Sialan! Cowok ini sok berkuasa di depan teman-temanku. Pakai teriak segala. Dia pikir aku ini tuli apa. Balas Zahra, dia harus merasakan bagaimana sakitnya kau diperlakukan seperti ini.
"Pacar katamu!?" tanyaku melototi mata itu. Tidak ada kata kalah. Aku harus bela diri.
"Apa kamu lupa, perlu kuingatkan!?" dia balas melotot. Sinting, berani juga nih cowok. Darahku menggelegak. Aku ini tidak pikun. Balas Zahra, dia harus tahu ini zaman emansipasi wanita. Tidak ada kata takut pada lelaki, tidak ada kata tunduk pada cowok. Apalagi lelaki seperti ini. Apa yang dia ketahui tentang sakit hati yang kau pendam selama ini? Hah, yang dia tahu cuma rumus-rumus Fisika.
"Kamu ngaku pacar!?" tanyaku meremehkannya.
"Maksudmu?" dahinya berkernyit. Jadi, dia benar-benar tidak mengetahui sakit yang lama kupendam.
"Buktinya apa, Rio!? Kau malah sibuk dengan bukumu, dengan komputermu dan dengan prestasimu. Kau tidak pernah peduli padaku. Apa ini yang kau katakan pacar?" kukeluarkan uneg-uneg di dada. Kurasakan mataku mulai panas. Hai, tidak ada kata menangis untuk seorang lelaki. Kau tidak sebodoh itu. Kupandangi wajahnya, dia hanya bisa diam dan mata itu kelihatan terluka.
Riota masih menatapku. Kuambil kesempatan ini untuk tersenyum dengan harapan dia membantuku ketika ujian. Alhasil, si tampan itu berubah sewot. Aku menghela napas sepanjang-panjangnya. Sabar neng Zahra! Sabar.
Apa lagi yang kau tunggu Zahra. Ah, aku harus ulangan harian. Segera kuambil sebuah buku. Kubuka bagian tengahnya yang masih putih bersih. Kurobek kertas itu diiringi perasaan kesal. Sialan! Kertas itu balas dendam, dia benar-benar robek. Kuremas-remas kertas itu dengan semangat '45. Mataku memanah Riota yang menulis namanya di lembar soal.
Makan nih kertas, kulempar ke arah Rio. Entah kenapa aku benar-benar muak ketika kembali kuingat gaya bicaranya tadi pagi.
"Tetapi Ra, aku sedang mempersiapkan diri untuk olimpiade nasional, Sayang," dia kembali merajuk.
Sayang? Kukunyah-kunyah kata-kata itu. Dari kamus mana kau temukan kata itu? Tiba-tiba saja perutku terasa mual. Aku benar-benar jijik mendengar rayuan Riota. Aku tak habis pikir, kenapa dia memperlakukanku seperti itu. Apa yang membuat sifat dinginnya hilang dan berganti dengan kegombalan. Aku benci itu. Aku sangat membenci rayuan itu!
Yes, kertas itu tepat mengenai kepalanya. Syukur, memang inilah balasan bagi orang yang diberkahi ilmu tetapi pelit. Wajahnya memerah, aku tersenyum centil. Kumainkan jemariku, kasihan.
Cowok pelit itu melotot, sementara diriku tersenyum penuh kemenangan. Riota sepertinya marah besar, dia mengalihkan pandangannya. Dia tak lagi peduli padaku. Heh cowok pelit, aku juga tidak akan peduli padamu.
Perhatianku bertransmigrasi ke arah Meta. Dia mengakhiri doanya. Aku menyikut gadis itu. "Mohon bantuannya," pintaku dengan nada selemas-lemasnya. Gadis jilbaber itu angkat bicara. "Soal kita berbeda, aku kelompok A dan kamu kelompok B," jelasnya.
"A.. apa!?" pekikku tertahan. Ibu guru, kau kejam sekali. Teganya dirimu melakukan ini padaku.
"Lagi pula Zahra tahukan kalau mencontek itu cikal bakal korupsi dan pastinya dilarang agama kita," jawabnya tegas.
Gila, aku salah orang. Bodoh! Mana mungkin dia mau menolongku. "Mencontet itu perbuatan yang diharamkan Allah. Allah sangat memurkai orang-orang yang berbuat tidak jujur. Apa kamu tidak takut akan murkanya Allah?" rentetan kalimat serupa yang sering keluar dari mulut Meta.
Soal mulai dibagikan. Ah, tenang Zahra, biasanya soalnya kan berbentuk objektif. Jadi kamu jangan terlalu cemas. Mainkan saja nalarmu.
Aku tersenyum, kuterima soal dari Bu Susi. Allah bantu aku ya. Kulihat soal itu. Innalillah! Objektif itu mustahil ada, sebab di tanganku ada sepuluh soal essay yang seakan-akan menertawaiku.
Bu Susi kembali duduk di kursinya. Aku meringis membaca soal. Ya jelas, toh aku jarang memperhatikan guru menerangkan pelajaran. Otakku error, loading… loading. Semua temanku mulai mengerjakan soal. Sementara aku masih berdiskusi dengan otakku.
Kau tidak boleh menyerah Zahra. Tidak satu jalan ke Roma. Pasti ada cara lain yang dapat kau lakukan. Jangan biarkan reputasimu yang mulai harum karena skenariomu menjadi jelek. Masa, anak SMA kewarganegaraannya remedial. Ah, aku warga negara yang baik.
Teman di sekelilingku keasyikan menjawab soal itu. Aku tidak bisa mengharapkan mereka. Aku harus berusaha sendiri. Mataku tertuju kepada laci meja.
La.. laci, iya ini episode terakhir penyelamatanku. Hore, aku berhasil menemukannya. Engkaulah satu-satunya yang bisa menyelesaikan masalahku. Aku harus open book. Semua beres.
Tanpa pikir panjang lagi, kusambar buku catatanku dari tas. Namun, tanganku bergetar hebat. Segera kumasukkan buku itu ke dalam laci. Ah, aku berkeringat. Tenang Zahra, kau mampu melakukannya. Bu Susi tidak akan mengetahuinya. Ya, tentu saja dia tidak mengetahuinya karena dia jauh di depan sana. Sekarang, kendalikan dirimu, mari buka buku itu pelan-pelan.
Kubuka halaman demi halaman. Mulai kutemukan jawaban dari soal yang tadi sempat kubaca. Segera kusalin, tiga soal selesai kujawab. Nafasku tidak beraturan, kupaksa untuk melanjutkan petualanganku.
"Apa kamu yakin dengan pilihanmu?" suaranya dekat. Aku terperanjat, tanganku refleks memasukkan buku itu ke dalam laci. Jantungku berdetak tak karuan. Aku melototi wajahnya.
"Meta, jangan membuatku jantungan!" bisikku ingin mengunyah gadis itu.
"Maaf, tetapi hal ini amatlah dimurkai Allah, Zahra," lagi-lagi kudengar kalimat itu. Susah punya teman seperti ini. Dia tidak memahami kekhawatiranku. Jadi dia pikir aku senang melakukannya? Hah, sudah Zahra bukan waktunya bertengkar. Aku menghela nafas panjang. Aku harus menjawabnya sebijak mungkin.
"Meta, tidakkah Allah menyuruh hambanya untuk berusaha dan berdoa. Aku sudah berdoa dan sekarang giliran berusahanya," jawabku tanpa segan lagi. Gadis itu menggeleng kepadaku.
"Ra!"
Aku melirik Riota. Apa juga maunya tuh cowok? Dia melemparkan sebuah kertas kecil kepadaku, aku menangkapnya. Apa dia mau minta bantuan? Haha, akhirnya cowok pintar itu mencontet. Tenang saja, aku tidak akan menolongnya.
Aku tersenyum ceria. Kubuka kertas itu. Senyumku pupus sudah. Mataku membelalak. Isinya Open Book itu berbahaya. Aku akan menolongmu dengan syarat kita balik. Riota menatapku penuh arti. Sama seperti pandangan yang kutatap tadi.
"Oke, kalau begitu urus saja buku-bukumu kejar prestasimu sampai ke liang lahat. Kudoakan kau bertemu Einstein," kataku setengah mengejek, dia diam. Aku harus melakukannya tetapi dari sudut yang lain aku enggan melakukannya. Kusimpulkan, cowok sombong ini harus diberi pelajaran. Kuhela napas "dan… kita putus!" lanjutku ketus. Aku tidak sanggup melihat matanya,. Segera kuberlari ke dalam kelas. Lagi-lagi dia memegang erat tanganku. Aku harus kuat. Kembali kubalikkan wajahku.
"A.. aku tidak minta kita putus," katanya. Aku nyaris menangis. Tahan Zahra.
"Aku yang minta," kujawab gusar.
"Te.. tapi a.. aku…"
Ya Allah matanya sendu. Jangan terhipnotis, Zahra. :Lupakan kehangatan mata itu. "Aku bosan. Sudah, lepaskan aku!" teriakku. Dia melepaskan tanganku. Aku tidak boleh melihat matanya. Aku tidak boleh memandangnya.
"A… aku."
Tidak kuhiraukan lagi suara itu. Aku segera memasuki kelas. Namun, puluhan pasang mata memperhatikanku tiada henti. Mereka menjadi saksi kandasnya cintaku. Aku berusaha tenang dan tenang. Segera kududuki kursi paling belakang. Setelah itu kudengar bel berbunyi.
Tak dapat kupungkiri hatiku dag dig dug tak karuan mendapat surat mungil ini. Riota mengajak balik. Ini kesempatan kembali dengannya. Aku tidak munafik, aku menyukainya. Ah, lebih cocok dibilang sangat mencintainya.
Tidak, kau tidak boleh menerimanya dulu, Zahra. Ada waktunya baikan, tetapi tidak sekarang. Aku mendesah panjang. Ayolah, aku harus menjawab apa!?
Kutulis sebuah kata tidak, lalu kulempar padanya. Dia meringis. Aduh, kejamnya diriku. Lagi-lagi aku melukainya. Sudah, jangan hiraukan dia Zahra. Banyak yang harus kau lakukan. Tak ada waktu untuk mengurus cowok itu. Lain kali saja. Kembali kupandangi buku. Kucari jawaban untuk pertanyaan selanjutnya.
*********

Bel masuk kembali berbunyi. Ini hari yang kami tunggu-tunggu. Pengumuman nilai ulangan harian KWN. Sebenarnya aku tidak meragukan lagi nilaiku. Ya, angka delapan kupastikan akan menjadi milikku.
Bu Susi masuk hari ini beliau memakai baju biru. Biru, itu warna kesukaan Riota. Riota, hanya dia ada dipikiranku. Sekarang dia sudah ke Jakarta untuk mengikuti olimpiade Fisika. Baru dua hari yang lalu dia pergi. Riota, aku benar-benar kangen padamu.
Bu Susi meletakkan buku-bukunya. Setelah itu, perhatiannya tercurah padaku. Dia tersenyum manis. Ha!? Aku mencoba membalas senyumnya.
"Baiklah anak-anak, ini berita duka bagi kalian," ucapnya. Semua temanku spontan bersorak. Aku berusaha tenang. Apa maksudnya si Ibu tersenyum padaku. Ya, kurasa hanya padaku. Tidakkah itu aneh?
"Kalian semua remedi," katanya. Kami berteriak ngeri.
"Kecuali kamu Zahra," ucapnya. Mata teman-teman menatapku. Aku segera merunduk. Sialan, kenapa musibah ini menimpaku? Teman-temanku bertepuk tangan ceria. Aku meringis dan hanya bisa meringis. Kutatap Meta dengan penuh arti, tolong aku teman. Apa yang harus kulakukan?
"Aku benar-benar menyesal. Apa yang harus kulakukan?" tanyaku. Air mataku terurai pada jam istirahat. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. Kalau aku tahu teman-teman juga lupa ulangan itu. Aku pasti tidak akan open book. Aku sendiri yang lulus dengan nilai maksimal, sembilan lagi.
"Sudahlah, Zahra. Semua sudah terjadi. Apa boleh buat," Meta berusaha menyabarkanku. Aku segera menghapus air mataku. Malu aku kalau sampai ketahuan oleh teman-teman. Mereka pasti mencercaku.
"A.. apa yang harus kulakukan?" tanyaku lagi. Gadis itu menatapku penuh kelembutan. Sudah dua tahun aku bersahabat dengannya. Selama ini memang kukenal dia gadis yang penuh kelembutan.
"Mungkin kamu harus memperbaiki kesalahanmu," ungkapnya. Aku mendadak pucat.
*******

"A.. apa kabar Rio?" tnyaku sedikit gugup. Apa dia mau memaafkanku? Kalau tidak bagaimana? Sudahlah, jangan pikirkan itu dulu. Apa pun yang terjadi. Aku harus menanggung sendiri konsekuensinya.
"Baik, kamu bagaimana?" dia menjawabnya dengan ramah. Setidaknya ini awal yang baik.
"A.. aku," jawabku. Cengeng! Kenapa aku menangis. Ini memalukan.
"Apa kamu menangis karena kau lulus kewarganegaraan itu?" tanyanya. Spontan aku ternganga.
"Ba.. bagaimana Rio bisa mengetahuinya?" tanyaku. Kupegang erat ponsel yang berada di telingaku.
"Tentu saja aku mengetahuinya."
Srrr, kembali rasa itu menggangguku. Hatiku bergetar tidak karuan. Tenanglah, Zahra. Aku benar-benar harus tenang. Suaraku tidak boleh bergetar Kupilih untuk diam tidak bersuara.
"Halo Zahra,"
"I.. iya aku masih di sini," kataku.
"Menurutku, lebih baik kamu mengakuinya dihadapan Bu Susi," kurasa dia sengaja mengganti topik.
"Be.. begitukah? Meta juga bilang begitu. Cu.. cuma aku ingin menanyakan sesuatu?' kembali aku gugup.
"Apa?" nada suaranya sangat biasa.
"Mungkinkah kau balas dendam padaku?"
Dia tertawa. Hah, jangan menertawaiku Rio. Aku benar-benar malu. Bayangkan saja nilaiku lebih tinggi darimu. Aku benar-benar tidak menyangkanya. Bagaimana mungkin seorang Riota bisa remedial.
Pikiranku menganggap Riota sombong sangatlah salah. Dia menjawabnya sangat sederhana. Setiap orang mempunyai kelebihan yang mungkin berbeda. Riota mungkin mampu dalam bidang Fisika, Meta mampu dalam bidang agama. Dia mengakui juga kalau aku sangat berbakat dalam bidang pembuatan skenario.
Aku sangat gembira. Hari ini, detik ini Riota kembali meminta agar kami berteman seperti biasa. Dia meminta maaf akan kesalahan yang dia lakukan selama ini. Dia mengaku masih mencintaiku. Tetapi, dia belum yakin untuk pacaran dulu. Dia harus fokus pada fisika. Aku menjawab mengerti dan meminta maaf juga atas kata-kataku yang sering melukainya.
Aku juga berjanji, besok aku akan menemui Bu Susi. Aku akan mengakui kalau hasil ulangan itu bukan hasil pemikiranku. Aku akan menerima konsekuensi yang ada.
Tiba-tiba saja sebuah kalimat Meta kembali merasuki pikiranku. "Zahra, terkadang kita tidak menyadari. Kalau dari berbagai arah mataku, matamu dan mata kita sedang dimata-matai"
"Kau aneh, Zahra. Siapa yang memata-matai kita," tanyaku ketika itu.
"Ilahi yang bersemayam di 'Arsyi" jawabnya. Aku mengulum senyum. Terima kasih Allah, engkau memberikan teman yang mengingatkanku akan dunia dan akhiratku.